Sebab Keterbelakangan Kaum Muslimin Karena Komitmen Terhadap Agama?
SEBAB KETERBELAKANGAN KAUM MUSLIMIN KARENA KOMITMEN TERHADAP AGAMA?
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian orang yang lemah imannya mengklaim bahwa sebab keterbelakangan kaum muslimin adalah karena komitmen mereka terhadap agama. Syubhat yang mereka lemparkan menurut klaim tersebut bahwa tatkala orang-orang Barat tidak meninggalkan seluruh agama dan terbebas dari kungkungannya, sampailah mereka kepada kondisi sekarang ini, yaitu kemajuan peradaban sementara kita karena komitmen terhadap agama masih saja mengekor terhadap mereka, bukannya sebagai orang yang dipanuti. Bagaimana mementahkan tuduhan-tuduhan semacam ini? Barangkali mereka menambahkan lagi satu syubhat lainnya, yaitu ada hujan yang lebat turun di sana, hasil-hasil pertanian dan bumi yang subur menghijau. Mereka mengatakan, ini merupakan bukti kebenaran ajaran mereka.
Jawaban
Kita katakan, bahwa sesungguhnya pertanyaan semacam ini hanyalah bersumber dari penanya yang lemah imannya atau tidak memiliki iman sama sekali, jahil terhadap realitas sejarah dan tidak mengetahui faktor-faktor kemenangan. Justru, ketika umat Islam komitmen terhadap agama pada periode permulaan Islam, mereka memiliki ‘Izzah (kemuliaan diri), Tamkin (mendapatkan posisi yang mantap), kekuatan dan kekuasaan di seluruh lini kehidupan.
Bahkan sebagian orang berkata, “Sesungguhnya orang-orang Barat belum mampu menimba ilmu apapun kecuali dari ilmu-ilmu yang mereka timba dari kaum muslimin pada periode permulaan Islam.”
Akan tetapi umat Islam malah banyak terbelakang dari ajaran diennya sendiri dan mengada-adakan sesuatu di dalam Dienullah yang sebenarnya tidak berasal darinya baik dari sisi akidah, ucapan dan perbuatan. Karena hal itulah, mereka benar-benar mengalami kemunduran dan keterbelakangan.
Kita mengetahui dengan seyakin-yakinnya dan bersaksi kepada Allah Subhanhu wa Ta’ala bahwa andaikata kita kembali kepada manhaj yang dulu pernah diterapkan oleh para pendahulu kita dalam dien ini, niscaya kita akan mendapatkan ‘Izzah, kehormatan dan kemenangan atas seluruh umat manusia. Oleh karena itulah, tatkala Abu Sufyan menceritakan kepada Heraklius, kaisar Romawi yang ketika itu kekaisaran Romawi dianggap sebagai negara adidaya- perihal ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dia mengomentari : “Jika apa yang kamu katakan mengenai dirinya ini benar, maka berarti dia adalah seorang Nabi dan sungguh, kekuasaannya akan mencapai tempat di bawah kedua kakiku ini. ” Dan tatkala Abu Sufyan dan para rekannya berpaling dari sisi Heraklius, dia berkata : “Urusan si Ibn Kabsyah [1] ini sudah menjadi besar, sesungguhnya Raja Bani al-Ashfar (sebutan Quraisy terhadap orang Romawi) gentar terhadapnya.”[2]
Sedangkan mengenai kemajuan di bidang industri, teknologi dan sebagainya yang dicapai di negara-negara Barat yang kafir dan atheis itu, tidaklah agama kita melarang andaikata kita meliriknya akan tetapi sangat disayangkan kita sudah menyia-nyiakan ini dan itu, menyia-nyiakan agama kita dan juga menyia-nyiakan kehidupan dunia kita. Sebab bila tidak, sesungguhnya dien Islam tidak menentang adanya kemajuan seperti itu bahkan dalam banyak ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan musuhmu.” [Al-Anfal/8 : 60]
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizkiNya.” [Al-Mulk/67 :15].
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” [Al-Baqarah/2:29]
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan. ” [Ar-Ra’d/13 : 4]
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang mengajak secara terang-terangan kepada manusia agar berusaha dan bekerja serta mengambil manfaat akan tetapi bukan dengan mempertaruhkan agama. Kaum kafir tersebut pada dasarnya adalah kafir, agama yang di-klaim juga adalah agama yang batil. Jadi kekufuran dan atheistik padanya sama saja, tidak ada perbedaannya. Dalam hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. ” [Ali Imran/3: 85]
Jika Ahli Kitab yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan Nashrani memiliki sebagian keunggulan yang tidak sama dengan orang-orang selain mereka akan tetapi mereka sama saja bila dikaitkan dengan masalah akhirat kelak, oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersumpah bahwa tidaklah umat Yahudi atau Nashrani tersebut yang mendengar (dakwah) beliau kemudian tidak mengikuti ajaran yang beliau bawa melainkan ia termasuk penghuni neraka. Jadi, sejak awal mereka itu adalah kafir, baik bernisbah kepada Yahudi ataupun Nashrani bahkan sekalipun tidak bernisbah kepada keduanya.
Sementara adanya banyak curahan hujan dan selainnya yang mereka dapatkan, hal ini hanya sebagai cobaan dan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah memang menyegerakan bagi mereka anugerah kenikmatan-kenikmatan di dalam kehidupan duniawi sebagaimana yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Umar bin Al-Khaththab tatkala dia melihat beliau lebih mengutamakan tidur beralaskan tikar sehingga membuat Umar menangis. Dia berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, orang Persi dan Romawi hidup bergelimang kenikmatan sementara engkau dalam kondisi seperti ini?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَـهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْـحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Masih ragukah engkau wahai Ibn al-Khaththab? Mereka itu kaum yang memang disegerakan untuk mendapatkan kenikmatan-kenikmatan di dalam kehidupan duniawi.” [3]
Kemudian mereka juga ditimpa musibah kelaparan, malapetaka-malapetaka, gempa dan angin-angin topan yang meluluhlantakkan sebagaimana yang diketahui bersama dan selalu disiarkan di radio-radio, koran-koran dan sebagainya.
Akan tetapi orang yang mempertanyakan seperti ini buta. Allah telah membutakan penglihatannya sehingga tidak mengetahui realitas dan hakikat yang sebenarnya. Nasehat saya kepadanya agar dia bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari pandangan-pandangan seperti itu sebelum ajal dengan tiba-tiba menjemputnya. Hendaknya dia kembali kepada Rabb-nya dan mengetahui bahwa kita tidak akan mendapatkan ‘Izzah, kehormatan, kemenangan dan kepemimpinan kecuali bila kita telah kembali kepada dien al-Islam, kembali dengan sebenar-benarnya yang diimplementasikan melalui ucapan dan perbuatan. Dia juga hendaknya mengetahui bahwa apa yang dilakukan orang-orang Kafir itu adalah batil, bukan Haq dan tempat mereka adalah neraka, sebagaimana yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melalui lisan RasulNya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pertolongan berupa nikmat banyak yang dianugerahkan Allah kepada mereka tersebut hanyalah cobaan, ujian dan penyegeraan kenikmatan, hingga bilamana mereka telah binasa dan meninggalkan kenikmatan-kenikmatan ini menuju Neraka Jahim, barulah penyesalan, derita dan kesedihan akan semakin berlipat bagi mereka. Ini semua merupakah hikmah Allah dengan memberikan kenikmatan kepada mereka padahal mereka sebagaimana telah saya katakan tadi, tidak akan selamat dari bencana-bencana, gempa, kelaparan, angin topan, banjir dan sebagainya yang menimpa mereka.
Saya memohon kepada Allah agar orang yang mempertanyakan ini mendapatkan hidayah dan taufiq, mengembalikannya ke jalan yang haq dan memberikan pemahaman kepada kita semua terhadap dien ini, sesungguhnya Dia Mahakaya lagi Mahamulia. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad Wa ‘Ala Alihi Wa Ala Ashhabihi Ajma ‘in.
(Alfazh Wa Mafahim Fi Mizan asy-Syari’ah, h.4-9, dari fatwa Syaikh Ibn Utsaimin)
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
_______
Footnote
[1]. Ibn Kabsyah adalah salah seorang dari suku Khuza’ah yang menyembah sesuatu yang bertentangan dengan ibadah bangsa Arab karenanya Abu Sufyan menjuluki Rasulullah demikian, karena beliau juga mengingkari dari apa yang mereka anut, pent.
[2]. HR. Al-Bukhari, Bad’ul Wahyi (7) al-Jihad (2941); Muslim, al-Jihad (1773).
[3]. HR. Al-Bukhari, Al-Mazhalim (2467), An-Nikah (5191).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/7949-sebab-keterbelakangan-kaum-muslimin-karena-komitmen-terhadap-agama.html